PEMBERANTASAN KORUPSI
Maraknya korupsi
yang terjadi di Indonesia bukan lagi disebut membudaya, tapi sudah menjadi
suatu seni berkorupsi. Seorang koruptor tidak hanya sekedar meraup uang negara
karena hal tersebut sudah sangat mudah dilakukan. Kini, tinggal
bagaimana mengemas hasil korupsi tersebut agar lebih terlihat indah sehingga
KPK pun susah membedakan antara haram dan halal. Bahkan seorang profesor
ekonomi terkenal menyebutkan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari life style.
Memang hampir tidak ada negara di dunia ini yang lepas dari pengaruh korupsi. Tapi, prestasi Indonesia dalam hal korupsi sungguh “membanggakan”. Khusus di kawasan Asia pasifik saja, Indonesia berhasil menyabet medali emas sebagai negara paling korup. Data ini dikeluarkan oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong, setelah melakukan survey terhadap 2174 eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Sementara untuk di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia “melorot” di posisi ke-5 negara terkorup.
Sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, label sebagai negara terkorup ikut
memengaruhi imej Islam di mata negara-negara non-Islam. Mereka,
khususnya yang anti Islam, makin memiliki “senjata” untuk menyudutkan Islam.
Mereka membentuk opini dunia bahwa ternyata Islam itu mengajarkan korupsi.
Buktinya Indonesia menjadi negara terkorup dimana pejabat-pejabat yang
melakukan korupsi sebagian besar beragama Islam.
Susahnya
memberantas korupsi di Indonesia selain karena sudah mendarah daging juga
karena definisi korupsi yang tidak jelas. Menurut Purwadarminta, definisi
korupsi dalam bahasa Indonesia adalah tindakan menyalahgunakan jabatan yang
mengakibatkan kerugian negara. Dengan definisi ini, jika seorang
pejabat menyalahgunakan jabatannya, tapi tidak merugikan negara maka tidak
bisa dikatakan korupsi. Contohnya, seorang kepala gudang sembako menjual
sembako yang ada di gudang lewat toko miliknya, lalu setelah laku ia kembalikan
modal sembako tersebut ke gudang, sedangkan keuntungannya diambil oleh toko.
Maka, tindakan seperti ini tidak bisa dikategorikan korupsi karena negara tidak
dirugikan. Hal-hal seperti inilah yang menjadi korupsi terselubung, yang tidak bisa
dituntut secara hukum.
Namun, bila kita
menggunakan definisi korupsi yang dikeluarkan WHO, yang dalam salah satu
kalimatnya disebutkan bahwa yang masuk perbuatan korupsi bila mengandung unsur
“mengambil yang bukan haknya” maka tindakan di atas sudah termasuk
kategori korupsi.
Sementara
definisi korupsi (ghulul) menurut Islam adalah penyalahgunaan
jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara sariqoh
(pencurian), ikhtilas (penggelapan), al-Ibtizaz (pemerasan), dan suap
(risywah) sebagai perbuatan mengkhianati amanah yang diberikan
masyarakat kepadanya. Intinya, setiap perbuatan mengambil yang bukan haknya, baik secara
terang-terangan atau tersamar termasuk dalam perbuatan korupsi. Majelis Ulama
Indonesia telah mengeluarkan fatwa Haram terhadap korupsi. Larangan korupsi
ditegaskan di dalam Al-Qur`an, Alloh berfirman,
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfaal: 27)
Lalu
Rosululloh SAW menegaskan hukum berbuat korupsi, sabda Beliau SAW,
“Alloh
melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” (HR. Tirmidzi )
Pada hadits lain Rosululloh SAW bersabda,
“Barangsiapa
yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu kuberi gajinya maka
sesuatu yang diambilnya diluar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR. Abu
Dawud)
Di ayat lain,
Alloh memperingatkan siapa yang korupsi maka di akhirat ia akan datang membawa
harta hasil korupsinya untuk menerima pembalasannya.
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa
yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran:
161)
Pada
dasarnya korupsi tidak hanya mengambil yang bukan haknya dalam hal materi.
Korupsi juga bisa dilakukan terhadap sesuatu yang tidak berwujud (nonmateri), seperti waktu.
Seorang PNS bisa disebut korupsi waktu, tatkala ia tidak bekerja sesuai
waktu yang telah ditetapkan. Atau ia sering menghilang dari kantor di saat jam
kerja, untuk keperluan pribadi
Dalam tugas ini saya akan mencoba menjelaskan apa itu korupsi, dampak
buruk tidakan korupsi dan cara pemberantasan korupsi. Namun tidakan korupsi ini
tidak akan terjadi apabila seluruh manusia di muka bumi ini selalu berperilaku
jujur atau membudidayakan budaya jujur dan mengingat ajaran tuhan akan adanya
hari kiamat dimana akan dimintai pertanggung jawaban atas tindakan yang di
lakukan semasa masih hidup.
APA ITU KORUPSI ?
Secara
etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa
Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata
kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki
arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki
arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik
sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan
yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption
diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest,
disloyal, etc., esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt
at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada
begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.
Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik
yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan
untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku
tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini
maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi,
politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga
tidak memainkan peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat
dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik
(Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)
Nye, J.S.
(1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi
sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut
tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif
pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus
Suradika, 2009: 2).
Amin Rais,
dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993,
membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi
ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk
pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu
atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang
pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa
mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa
bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi
manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang
merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau
keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya.
Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar
peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang
tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga,
korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu
perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau
saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu
para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan
keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive
cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang
dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaannya.
(http://manshurzikri.wordpress.com)
FAKTOR
PENYEBAB KORUPSI ADALAH WARISAN TURUN TEMURUN
Budaya tak selamanya
baik, ada kalanya budaya justru menjadi “rantai setan” yang membelit dan sulit lepas dari korbanya.
Budaya di wariskan dari generasi kegenerasi berikutnya melalalui pembelajaran
yang langsung maupun tidak langsung. Dalam sebuah kantor misalnya jika karyawan
seniornya sering dating terlambat atau pulang lebih cepat dari yang ditetapkan
oleh perusahaan, maka secara tidak langsung ia telah mentransfer budaya korupsi
kepada juniornya yang melihat kejadian itu.
Jika hal ini terus
menerus dibiarkan tanpa adanya teguran dari atasan sekaligus memberikan contoh
yang baik dengan ontime (tepat waktu) bekerja, maka lambat laun akan menjadi
budaya perusahaan yang offtime (terlambat)
Berangkat dari
fenomena yang telah lama sekali membelit bangsa yang kita cintai, kira warisan
budaya tersebut harus diakhiri dengan pendidikan, sebab pendidikan adalah
pondasi yang akan membangun karakter generasi bangsa yang akan melanjutkan
generasi sebelumnya.
Faktanya masih bias
dihitung dengan jari, universitas yang telah memasukan pendidikan anti korupsi
kedalak kurikulum pendidikanya masih minim, kesadaran dan implementasi untuk
mengikis budaya korupsi melalui pendidikan, padahal melalui pendidikan factor
penyebab korupsi setahap demi tahap dapat terkikis.
Pendidikan dapat
efektif manakala ditanamkian sedini mungkin, meskipun bukan berarti terlambat
jika diterapkan bagi seseorang yang telah lama mengeyam pendidikan. Bukan la
hide buruk jika pendidikan anti korupsi ditanamkan sejak sekolah dasar.
BEBERAPA
FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Terjadinya
korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan
birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya
sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan
dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002)
adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan
belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya
penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad
dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari
semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem
pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan
banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.
Menurut Arifin
(2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku
individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat
individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif
politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian
sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang
menyebabkan terjadinya korupsi APBD di wilayah Malang Raya yaitu:
1. Aspek Prilaku individu
Apabila dilihat
dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa
dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat,
atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan
korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat
menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar,
(d) kebutuhan hiduop yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau
bekerja keras, (g) ajaran-ajaraan agamaa kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori
kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya
hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan
logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang
bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan
tinggi. Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW)
berdasarkan jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2%
korupsi terjadi karena aspek individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola
penyimpangan yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor (14,2%),
pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya (10%), dan
(6)% adalah biaya pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi (MCW,
2004). Berdasarkan hasil pooling tersebut penulis membuat hipotesis sebagai
berikut:
H1: Aspek prilaku individu berkorelasi negatif dan secara signifikan
mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
2. Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi
dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena
membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000).
Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang
untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab
terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang
adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Berdasarkan
jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota Surabaya, Medan,
Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi
kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen
responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan
dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden
saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing
sudah berkurang. dengan demikian hipotesa yang bisa dikembangkan penulis adalah
:
H2: Aspek organisasi kepemerintahan berkorelasi negatif dan
secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan
korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan
perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan
perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan
“konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang
memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan,
(e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang
evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk
menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan
mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas
suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.
Lembaga-lembaga
ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya
tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para
pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal
penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham
kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya
bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD,
Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan
sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya
sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada
pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai
bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha
melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat,
sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau
pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya
korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat
lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan
oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan
memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Hasil pooling
yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan jawaban
dari 9273 responden menunjukan bahwa sekitar 22,2% korupsi terjadi di Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) (MCW, 2004). Bentuk korupsi ini terjadi karena
lemahnya peraturan perundang-undangan didaerah. Sehingga hipotesis penelitian
ini adalah:
H3: Aspek peraturan perundang-undangan berkorelasi negatif dan
secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
4. Aspek Pengawasan
Pengawasan yang
dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif
karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan
pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang
adanya koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum
maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas
tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan
ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian
menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal
inis sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara
kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut
menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Secara umum
pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan
fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat
eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini
kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang
tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas
serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas
sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat
dalam praktek korupsi. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
H4: Aspek pengawasan berkorelasi negatif dan secara signifikan
mempengaruhi terajdinya korupsi APBD.
DAMPAK
NEGATIF KORUPSI
1.
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
2. Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi
dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos
(niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan
bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru
dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi
juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki
koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor
publik
dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana
sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas
proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya
menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan
pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi
yang berbentuk penagihan
sewa
yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering
benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator
Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan
dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970
sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi
dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian
pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu
teori oleh ekonomis Mancur
Olson).
Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan
juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah
lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat
untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
3. Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar
bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi
adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan
besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
BAGAIMANA CARA MEMBERANTAS
KORUPSI ?
Cara memberantas
korupsi kelas kakap yang telah mendarah daging? Cara yang paling ampuh dan
cepat adalah menggunakan hukum Islam, yaitu potong tangan. Tapi masalahnya, Indonesia bukan
negara Islam sehingga tidak bisa menggunakan hukum Islam. Namun, bila kita
menggunakan hukum yang ada sekarang maka cara yang paling tepat adalah ada
kemauan kuat dari pemerintah untuk tobat, kemudian saling bekerjasama
memberantasnya. Sebab, masalah korupsi di Indonesia disebabkan oleh perilaku
kelompok, jadi untuk memberantasnya juga harus berkelompok.
Dalam
dunia kedokteran, untuk memberantas sebuah penyakit dilakukan dengan lima
prinsip. Tiga prinsip diantaranya bisa diterapkan untuk memberantas korupsi, yakni promotif,
preventif, dan kuratif. Promotif artinya pemerintah harus lebih intensif
melakukan edukasi kepada generasi muda agar tidak ikut-ikutan budaya korupsi.
Preventif maksudnya melakukan pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan-kemungkinan
terjadinya korupsi. Tindakan ini lebih cocok dilakukan oleh BPK maupun KPK.
Sedangkan kuratif, yaitu memberikan hukuman yang setimpal sebagai langkah
penyembuhan pelaku korupsi. Penerapan langkah ini disesuaikan apakah koruptor
perorangan atau kelompok. Kalau dalam syariat Islam, tentu sudah
jelas tindakan kuratif dengan cara potong tangan.
by Reza Rafiq MZ
0 komentar: